Now Read: http://ronytomato.blogspot.com WEIRD STORIES: IZINKAN SAYA BERCERITA - 9. LETTER FROM ELISABETH
WELCOME TO MY BLOG

ANDA PENGUNJUNG KE :

Saturday, February 23, 2013

IZINKAN SAYA BERCERITA - 9. LETTER FROM ELISABETH

CERPEN KE : IX

JUDUL : LETTER FROM ELISABETH

 

By : Rony Wiranto

 

*Sambil Baca Sambil Dengar

 

 

The Cranberries - Ode to My Family

 

Sendirian. Satu kata itulah yang saya rasakan ketika semuanya meninggalkan aku seorang diri. Ibuku yang meninggalkanku di panti asuhan sejak kecil, ayahku yang meninggalkanku entah ke mana, teman - teman panti asuhan yang menjauhi ku entah mengapa, tak ada seorang pun yang dapat menemani ku walau hanya sebentar, kecuali mereka. Yah.. Mereka, yang selalu hadir saat aku ada, datang secepat yang aku butuhkan.

 

Tak heran jika bakat ini kupendam sejak aku berada di panti. Mereka yang berusaha untuk dekat dan berbicara, bercanda tawa denganku. Banyak orang yang telah kusaksikan kurang bisa mengembangkan keahlian yang mereka punya dan menganggap itu adalah hal sial baginya. Tapi tidak bagiku, sesuatu yang telah diberikan kepadaku merupakan hal terbaik yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Aku menganggapnya anugerah. Anugerah untuk dapat berbincang banyak dengan mereka, dapat lebih mengetahui tentang mereka. seolah aku lupa akan ayah dan ibuku yang selama ini tak pernah menoreh kan wajahnya untuk bertemu denganku.

 

Pada titik awalnya, tak seorang pun dapat menerima suatu perubahan dan sosialisasi secara sempurna dan mutlak. Aku ingat sekali ketika usia ku masih 8 tahun. Aku sangat ketakutan dan menjerit melihat semua keadaan yang ada, melihat situasi dan kondisi yang konkret secara langsung. Sebab aku tak dapat menerimanya secara cepat dan adaptasi. Tuhan memang adil.

 

Perlu kuingat saat pertama jumpa di taman panti asuhan. Seorang wanita berambut pirang, memakai gaun panjang laksana putri dari Belanda, dan memakai topi putih yang sedikit menutupi wajah seolah menoleh padaku, prihatin melihat kondisi ku yang tidak bisa dikatakan baik. Aku rasa kesan itu juga bisa tertuju padanya. Bercak darah dari gaun nya sudah dapat menunjukkan ku suatu pertanda akan perasaan apa ini, apakah ini Bakat atau Kelemahan. Tak kiranya aku menjerit, berteriak sekuat tenaga hingga seseorang dari panti menenangkan ku dengan segelas teh hangat di hari yang dingin. Tak terlupakan rasanya jika kuingat kembali sosoknya dan parasnya yang begitu mengagetkan, belum pernah kulihat sebelumnya.

 

Tapi, yang kurasakan sekarang berbeda. Tak sedikit rasa takut ku sirna akan semua ini. Aku bahkan sudah mengenal mereka semua yang ada di panti. Salah satu dari mereka yang menjadi temanku adalah Elisabeth, gadis kecil keturunan Prancis yang memakai baju anak perempuan klasik yang berwarna merah dan hijau. Tak sedikit juga aku menceritakan semua yang kulalui di panti, begitu juga dengannya. Seperti kakak-beradik, kami selalu kompak dan bermain bersama.

 

"Elisa, Lihat dapat hadiah dari makanan ini lho!!"

 

"Elisabeth, Aku akan menggambarkan capung untukmu ya!"

 

"Elisa, Ayo temani aku jajan dong!!".

 

"Elisa, Sudah saatnya makan malam, ayo ikut aku ya,,".

 

"Elisa, aku lihat ada sepatu yang bagus sekali disana!".

 

"Elisa, hati-hati! kau memegang gelas cukup banyak lho!".

 

Berbagai ungkapan perasaan telah ku ucapkan kepadanya, sebagaimana dia juga kepadaku. Walaupun tak sedikit dari orang yang ada di panti asuhan menganggapku aneh, tak waras, gila, dan sebagainya; tapi aku tak peduli. Elisabeth adalah temanku, aku tak akan membiarkannya sendirian. Aku memang tak rela kehilangan kedua orangtua ku, tapi aku juga tak rela kalau Elisabeth meninggalkanku.

"A..YAH!!".

 

Seseorang menepuk pundak ku, seolah membuyarkan lamunan ku yang begitu panjang. Aku menolehkan wajah ku untuk melihat sosoknya. Seorang gadis kecil berambut hitam yang cantik, dan memakai sweater yang indah berwarna ungu muda. Dengan menunjukkan senyumannya yang indah, aku sadar, bahwa dia adalah.. Anakku.

 

"Ayah, hari ini ayah bekerja ya?". Tanya-nya

"I..Iya anakku, ayah hari ini bekerja." jawabku dengan senyuman.

 

Dengan memakai setelan jas hitam dan dasi berwarna merah. Secepatnya aku langsung pamit kepada istriku dan anakku untuk pergi bekerja menafkahkan mereka. Aku masih terbayang lamunanku tadi, aku sedikit bertanya pada diriku sendiri. Apakah Elisabeth masih ada? atau kah ia telah berada di sisi dunia yang berlainan?. Pertanyaan tersebut kubayangkan hingga aku sampai di kantor. Aku baru teringat sebuah mimpi, sebuah mimpi yang telah kami buat berdua ketika kami berada di panti tempat kami bertemu.

 

"Kalau kamu sudah besar dan sudah tak tinggal disini, kirim surat kepadaku ya walau hanya sekali. hihi..".

 

Kata - kata tersebut seolah terukir di benakku. Esoknya, aku telah berniat untuk datang kembali ke panti sehabis pulang kerja. Aku sengaja tidak memberitahu istriku dan anakku. Aku juga telah menyiapkan surat yang akan kuberi nantinya kepada Elisabeth. Aku harap dia senang dengan kedatanganku.

 

Ternyata memang tak berubah sedikit pun. Pepohonannya, rumahnya, perairannya, sama sekali tak berubah. Aku harap Elisabeth juga tak berubah. Tetap cantik dengan wajah lugu nya yang lucu. Aku menaruh sepucuk surat janji yang telah kami sepakati sebelumnya di dalam lubang pohon tempat kami sering bermain. Tak kurasa, waktu berlari menuju masa depan dengan kilatnya.

 

Setelah menyelesaikan amanahku, aku kembali pulang. Pulang kepada keluargaku yang baru, yang keharmonisasiannya perlu sangat kujaga. Aku tersenyum bahagia menyaksikan keadaan yang hampir lekang ini. Aku baik - baik saja. Sepucuk surat yang kutaruh di pohon tadi aku harap sebagai kenangan berarti bagi kita.

 

"Ayah!!". Teriak anakku.

 

Rupanya sudah sampai di rumahku, dengan cepatnya aku peluk anakku. Istriku tersenyum di belakangku. Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar untuk berbenah. Kumasukkan semua peralatan - peralatan kantor ke dalam lemari kayu berwarna coklat yang kubeli tahun baru lalu. Ehh.. Aku tercengang, ada sepucuk surat berwarna biru yang terselip di laci lemari kamarku. Sepucuk surat tanpa nama. Apakah ini adalah jawaban dari surat yang telah kuberikan pada Elisabeth tadi?

 

To : Best Friend ever

 

Hello, Wira. This is me.. Masih ingatkah?

Terima kasih telah mempercayaiku selama ini.. 

Sebagai seorang teman, aku bangga padamu..

Bangga karena kau dapat menjalani hidup dengan berusaha..

 

And than, Terima kasih karena telah menepati janjiku kepadamu..

Aku sangat senang mempunyai teman seperti dirimu..

Dan juga,, Aku minta maaf.. Aku tak dapat sebaik mungkin menjadi temanmu..

Aku juga tak dapat menjaga dan mengawasimu lagi..

Aku harus pergi ke suatu jalan yang dnamakan tujuan..

Sampai jumpa teman, selamat menempuh jalan hidup..

Thank you..

 

From  :  Your Friends

 

Aku sangat tercengang, mungkinkah ini dari.. Elisabeth? Seketika itu juga aku tersenyum menatap surat berwarna biru yang indah itu. kupegang erat dan tak kubiarkan kertas kenangan itu hilang. Aku janji, aku akan berusaha lebih baik dan dapat menjadi pemimpin yang baik. Dan aku mengerti, sekarang Sendirian adalah kata kiasan belaka bagiku. Terima kasih atas suratnya, Elisabeth..

1 comment: