Now Read: http://ronytomato.blogspot.com WEIRD STORIES: STORY TELLING
WELCOME TO MY BLOG

ANDA PENGUNJUNG KE :

Showing posts with label STORY TELLING. Show all posts
Showing posts with label STORY TELLING. Show all posts

Saturday, February 23, 2013

IZINKAN SAYA BERCERITA - 9. LETTER FROM ELISABETH

CERPEN KE : IX

JUDUL : LETTER FROM ELISABETH

 

By : Rony Wiranto

 

*Sambil Baca Sambil Dengar

 

 

The Cranberries - Ode to My Family

 

Sendirian. Satu kata itulah yang saya rasakan ketika semuanya meninggalkan aku seorang diri. Ibuku yang meninggalkanku di panti asuhan sejak kecil, ayahku yang meninggalkanku entah ke mana, teman - teman panti asuhan yang menjauhi ku entah mengapa, tak ada seorang pun yang dapat menemani ku walau hanya sebentar, kecuali mereka. Yah.. Mereka, yang selalu hadir saat aku ada, datang secepat yang aku butuhkan.

 

Tak heran jika bakat ini kupendam sejak aku berada di panti. Mereka yang berusaha untuk dekat dan berbicara, bercanda tawa denganku. Banyak orang yang telah kusaksikan kurang bisa mengembangkan keahlian yang mereka punya dan menganggap itu adalah hal sial baginya. Tapi tidak bagiku, sesuatu yang telah diberikan kepadaku merupakan hal terbaik yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Aku menganggapnya anugerah. Anugerah untuk dapat berbincang banyak dengan mereka, dapat lebih mengetahui tentang mereka. seolah aku lupa akan ayah dan ibuku yang selama ini tak pernah menoreh kan wajahnya untuk bertemu denganku.

 

Pada titik awalnya, tak seorang pun dapat menerima suatu perubahan dan sosialisasi secara sempurna dan mutlak. Aku ingat sekali ketika usia ku masih 8 tahun. Aku sangat ketakutan dan menjerit melihat semua keadaan yang ada, melihat situasi dan kondisi yang konkret secara langsung. Sebab aku tak dapat menerimanya secara cepat dan adaptasi. Tuhan memang adil.

 

Perlu kuingat saat pertama jumpa di taman panti asuhan. Seorang wanita berambut pirang, memakai gaun panjang laksana putri dari Belanda, dan memakai topi putih yang sedikit menutupi wajah seolah menoleh padaku, prihatin melihat kondisi ku yang tidak bisa dikatakan baik. Aku rasa kesan itu juga bisa tertuju padanya. Bercak darah dari gaun nya sudah dapat menunjukkan ku suatu pertanda akan perasaan apa ini, apakah ini Bakat atau Kelemahan. Tak kiranya aku menjerit, berteriak sekuat tenaga hingga seseorang dari panti menenangkan ku dengan segelas teh hangat di hari yang dingin. Tak terlupakan rasanya jika kuingat kembali sosoknya dan parasnya yang begitu mengagetkan, belum pernah kulihat sebelumnya.

 

Tapi, yang kurasakan sekarang berbeda. Tak sedikit rasa takut ku sirna akan semua ini. Aku bahkan sudah mengenal mereka semua yang ada di panti. Salah satu dari mereka yang menjadi temanku adalah Elisabeth, gadis kecil keturunan Prancis yang memakai baju anak perempuan klasik yang berwarna merah dan hijau. Tak sedikit juga aku menceritakan semua yang kulalui di panti, begitu juga dengannya. Seperti kakak-beradik, kami selalu kompak dan bermain bersama.

 

"Elisa, Lihat dapat hadiah dari makanan ini lho!!"

 

"Elisabeth, Aku akan menggambarkan capung untukmu ya!"

 

"Elisa, Ayo temani aku jajan dong!!".

 

"Elisa, Sudah saatnya makan malam, ayo ikut aku ya,,".

 

"Elisa, aku lihat ada sepatu yang bagus sekali disana!".

 

"Elisa, hati-hati! kau memegang gelas cukup banyak lho!".

 

Berbagai ungkapan perasaan telah ku ucapkan kepadanya, sebagaimana dia juga kepadaku. Walaupun tak sedikit dari orang yang ada di panti asuhan menganggapku aneh, tak waras, gila, dan sebagainya; tapi aku tak peduli. Elisabeth adalah temanku, aku tak akan membiarkannya sendirian. Aku memang tak rela kehilangan kedua orangtua ku, tapi aku juga tak rela kalau Elisabeth meninggalkanku.

"A..YAH!!".

 

Seseorang menepuk pundak ku, seolah membuyarkan lamunan ku yang begitu panjang. Aku menolehkan wajah ku untuk melihat sosoknya. Seorang gadis kecil berambut hitam yang cantik, dan memakai sweater yang indah berwarna ungu muda. Dengan menunjukkan senyumannya yang indah, aku sadar, bahwa dia adalah.. Anakku.

 

"Ayah, hari ini ayah bekerja ya?". Tanya-nya

"I..Iya anakku, ayah hari ini bekerja." jawabku dengan senyuman.

 

Dengan memakai setelan jas hitam dan dasi berwarna merah. Secepatnya aku langsung pamit kepada istriku dan anakku untuk pergi bekerja menafkahkan mereka. Aku masih terbayang lamunanku tadi, aku sedikit bertanya pada diriku sendiri. Apakah Elisabeth masih ada? atau kah ia telah berada di sisi dunia yang berlainan?. Pertanyaan tersebut kubayangkan hingga aku sampai di kantor. Aku baru teringat sebuah mimpi, sebuah mimpi yang telah kami buat berdua ketika kami berada di panti tempat kami bertemu.

 

"Kalau kamu sudah besar dan sudah tak tinggal disini, kirim surat kepadaku ya walau hanya sekali. hihi..".

 

Kata - kata tersebut seolah terukir di benakku. Esoknya, aku telah berniat untuk datang kembali ke panti sehabis pulang kerja. Aku sengaja tidak memberitahu istriku dan anakku. Aku juga telah menyiapkan surat yang akan kuberi nantinya kepada Elisabeth. Aku harap dia senang dengan kedatanganku.

 

Ternyata memang tak berubah sedikit pun. Pepohonannya, rumahnya, perairannya, sama sekali tak berubah. Aku harap Elisabeth juga tak berubah. Tetap cantik dengan wajah lugu nya yang lucu. Aku menaruh sepucuk surat janji yang telah kami sepakati sebelumnya di dalam lubang pohon tempat kami sering bermain. Tak kurasa, waktu berlari menuju masa depan dengan kilatnya.

 

Setelah menyelesaikan amanahku, aku kembali pulang. Pulang kepada keluargaku yang baru, yang keharmonisasiannya perlu sangat kujaga. Aku tersenyum bahagia menyaksikan keadaan yang hampir lekang ini. Aku baik - baik saja. Sepucuk surat yang kutaruh di pohon tadi aku harap sebagai kenangan berarti bagi kita.

 

"Ayah!!". Teriak anakku.

 

Rupanya sudah sampai di rumahku, dengan cepatnya aku peluk anakku. Istriku tersenyum di belakangku. Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar untuk berbenah. Kumasukkan semua peralatan - peralatan kantor ke dalam lemari kayu berwarna coklat yang kubeli tahun baru lalu. Ehh.. Aku tercengang, ada sepucuk surat berwarna biru yang terselip di laci lemari kamarku. Sepucuk surat tanpa nama. Apakah ini adalah jawaban dari surat yang telah kuberikan pada Elisabeth tadi?

 

To : Best Friend ever

 

Hello, Wira. This is me.. Masih ingatkah?

Terima kasih telah mempercayaiku selama ini.. 

Sebagai seorang teman, aku bangga padamu..

Bangga karena kau dapat menjalani hidup dengan berusaha..

 

And than, Terima kasih karena telah menepati janjiku kepadamu..

Aku sangat senang mempunyai teman seperti dirimu..

Dan juga,, Aku minta maaf.. Aku tak dapat sebaik mungkin menjadi temanmu..

Aku juga tak dapat menjaga dan mengawasimu lagi..

Aku harus pergi ke suatu jalan yang dnamakan tujuan..

Sampai jumpa teman, selamat menempuh jalan hidup..

Thank you..

 

From  :  Your Friends

 

Aku sangat tercengang, mungkinkah ini dari.. Elisabeth? Seketika itu juga aku tersenyum menatap surat berwarna biru yang indah itu. kupegang erat dan tak kubiarkan kertas kenangan itu hilang. Aku janji, aku akan berusaha lebih baik dan dapat menjadi pemimpin yang baik. Dan aku mengerti, sekarang Sendirian adalah kata kiasan belaka bagiku. Terima kasih atas suratnya, Elisabeth..

Baca Selengkapnya......

IZINKAN SAYA BERCERITA - 8. LINGER

CERPEN KE : VIII
JUDUL : LINGER

By : Rony Wiranto

*Sambil Baca Sambil Dengar


The Cranberries - Linger

Pagi yang suasananya agak mendung ini seakan - akan tak membuatku lupa akan bersyukur kepada Tuhan karena telah menciptakan sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi semua makhluknya. Pohon - pohon yang dihembuskan angin, Hujan rintik yang perlahan - lahan turun, tak akan membuatku patah semangat untuk pergi ke sekolah, walaupun kelihatannya 45 menit lagi sekolah ku membunyikan bel tanda masuknya. Aku ke kamar mandi membersihkan tubuhku, kemudian memakai baju sekolahku dengan rompi biru yang sangat bagus.

"Romi?! Apakah kamu sudah sarapan?". Tanya Shella.
"Ya!". Jawabku.

Shella adalah temanku, seorang wanita dewasa yang aku kenal sejak umurku 6 tahun, sejak orangtua ku sering berpergian ke luar kota, dialah yang selalu menemaniku diriku, mengawasi, dan membimbingku saat kedua orangtua ku sibuk dengan pekerjaan dan bepergian ke luar kota. Dengan umurku yang hampir menuju 15 tahun, dia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Ya.. dia akan muncul di tengah - tengahku dan kesibukan kedua orangtua ku.

Banyak hal yang sudah kulalui bersama Shella selama 9 tahun aku hidup, rasanya aku tak rela jika kehilangannya. Sosoknya tak pernah berubah sedikitpun, selalu tersenyum dan gembira. Dia datang disaat kubutuhkan. Banyak hal yang telah kuceritakan padanya. Mulai dari ujian nasional, masuk SMA mana, sampai urusan rumah selalu kuceritakan padanya. Tak seperti kedua orangtua ku yang mungkin hanya beberapa persen mengisi kehidupanku.

Sebenarnya mungkin hanya Shella lah teman yang selalu mengisi kehidupanku. Alhasil, lihat saja di sekolah, tak ada teman seorang pun yang dekat denganku. Semuanya menjauhiku. Mereka bilang dengan alasan - alasan yang banyak, seperti aku punya penyakit-lah, gila-lah, egois-lah, aneh-lah, dan sebagainya. Tapi, dengan alasan seperti itu tak membuatku patah semangat untuk mendapatkan prestasi yang banyak di sekolah. Jarak antara rumahku dengan sekolah tak begitu jauh, hanya berjalan kaki saja cukup. Biasanya aku berjalan bersama Shella, tapi kelihatannya hari ini...

"Kamu nggak mau ikut ke sekolah?". Tanyaku.
"(Menggelengkan kepala) Nggak, kamu sendiri saja ya..". Jawabnya sambil tersenyum. Walaupun aku tahu kelihatannya itu senyuman yang dipaksakan.
"Ya sudah, aku pergi ya..". Jawabku.

Kelihatannya Shella hari ini berwajah muram. Aku kurang mempedulikan hal itu dan langsung saja berangkat ke sekolah. Aku mempercepat langkah ku. Hujan rintik semakin deras saja. Aku memakai jaket untuk menutupi tubuhku sembari memegang beberapa buku dan kertas untuk keperluan sekolah nanti. Angin semakin berhembus kencang. Tiba-tiba dari daerah belakang melintas sebuah motor yang ukurannya besar, seperti yang sedang trendi sekarang, dengan kecepatan tinggi, dan itu semua membuatku kelabakan untuk mengambil berkas-berkas ku yang terhempas olehnya.

"Siall!". Ujarku.

Aku kesal sembari memunguti semua berkas ku yang terhembas dan tertiup angin. Ini merepotkan, mana 15 menit lagi sudah harus sampai ke sekolah yang jaraknya hanya beberapa meter lagi. Berkas ku bertebaran ke mana-mana, salah satunya jatuh tepat di tengah jalan. Aku yang pemarah dan tak sabaran langsung seketika berlari ke tengah jalan dan mengambil berkas tersebut.

Sebuah mobil truk yang sedang melaju di jalan itu dengan kecepatan yang sama seperti motor tadi tiba-tiba tampak begitu jelas di depan mataku. Aku terbelalak kaget, begitu pula dengan pengendara mobil itu yang sama kagetnya sepertiku. Suara benturan tubuhku dengan mobil ku terdengar jelas sesudahnya. Tak akan terelakan.

"mi.. Romi!! Bangun!!." Teriak Shella.

Aku memfokuskan mataku untuk melihat sekelilingku. Wajah Shella terlihat di kedua mataku. "Shel, aku dimana? Kenapa aku?" dengan perasaan bingung mencoba mengingat kembali kejadian sebelumnya.

"Tenang,,". jawab Shella yang aku tak puas dengan jawabannya.

Kutatap suasana sekelilingku dengan posisi terbaring. Ya Ampun!! Begitu banyak orang yang mengelilingiku, bahkan ada beberapa teman sekolah dan guruku. Sebagian orang menutup mulutnya seolah terkejut, dan beberapa orang sempat tercengang dan bahkan beberapa orang ada juga yang sedih dan menangis. Sisanya sibuk hendak mendekatiku dan mengangkat tubuhku. Benar saja, beberapa laki-laki dewasa hendak mengangkatku. Aku agak risih karena aku yang tak kenapa-kenapa akan diangkat dan tujuannya pun tidak tahu. Aku berusaha mengelak dan Shella pun hanya diam dan tertunduk.

"Hei, Shella,, kenapa mereka memaksa mengangkat...".

Sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, aku tercengang. Kulihat tubuhku diangkat mereka, kelihatannya mereka menuju ke arah sekolah. Teriakan orang lain semakin memecah. Mataku menatap lurus Shella dan aku seolah terkejut. Kenapa hanya tubuhku yang mereka angkat? Kenapa mereka tidak mengangkat ku yang masih terbaring di jalanan? Tubuhku yang hancur dan penuh darah itu.. Saat itulah aku tersadar.. tubuhku dibawa pergi.. dan mereka semua meninggalkanku kecuali Shella.

Aku sempat mengeluarkan air mata walau setetes. Ibu.. Ayah.. Aku teringat kedua orangtua ku. Perasaan bersalah karena belum banyak menghabiskan waktuku bersamanya. Tiba - tiba Shella menggenggam tanganku.

"Shel, aku tidak salah kan? aku benar kan? Mereka bilang aku gila, Mereka bilang aku aneh sering berbicara denganmu, Ternyata kamu benar benar ada dan bisa kugenggam tanganmu sekarang!!". Teriakku.

Shella hanya tersenyum dan menganggkatku yang masih terbaring. Kemudian aku dituntun berjalan di belakangnya. "Akan kutunjukkan banyak hal!". katanya sambil tersenyum. Kulangkahkan kakiku, berjalan sesuai dengan tuntutan ku sebagai seorang makhluk. Shella yang selama ini mereka bilang teman imajiner-ku lah yang membimbing ku untuk terus berjalan. Terima kasih ya Tuhanku telah menciptakan makhluk istimewa sepertinya dan aku akan mengikuti langkahnya entah sampai kapan..


Ibu.. Ayah.. Aku baik-baik saja.. Nanti suatu saat kalau kita bertemu lagi, akan kuperkenalkan Shella pada kalian semua..

Baca Selengkapnya......

Friday, December 21, 2012

IZINKAN SAYA BERCERITA - 7. MENGERTILAH AKAN AIR

CERPEN KE : VII
JUDUL : MENGERTILAH AKAN AIR

By : Rony Wiranto

*Sambil Baca Sambil Dengar


Spanish Instrumental - Romance Song


Pada Suatu hari, hiduplah seorang pengembala domba. Ia tinggal di sebuah desa yang bisa dibilang kecil namun indah. Tempatnya sejuk dan ramah lingkungan. Ladang nan indah dihiasi rumput dan alang alang berwarna coklat dan hijau. Ia memiliki sebuah rumah berbentuk gubuk kecil dan kandang kecil bagi domba - domba miliknya untuk masuk. Yah, bisa dibilang kandang yang tak layak bagi domba - dombanya. Walaupun desanya begitu tentram dan nyaman, ia masih tetap gelisah memikirkan bagaimana kehidupannya yang akan datang. Bisa dibilang, pengembala itu kekurangan biaya untuk hidupnya tapi tak terlalu kekurangan. Ia masih dapat hidup dengan menggembala domba miliknya.

Suatu hari, sang pengembala seperti biasanya akan menggiring domba - dombanya untuk mencari makan. Tapi, sebelumnya ia harus menyusuri jembatan menyebrangi sungai menuju hutan. Setelah ia sampai di hutan, hujan sangat turun deras sekali.

"Ya ampun,, dasar air hujan sialan! Aku tak bisa bekerja kan?" Keluhnya.

Sang pengembala menunggu dan terus menunggu hingga awan mau menghirup air matanya kembali. Alhasil, hujan semakin lama semakin deras. Berhubung hujan telah melampaui batas dan terlalu deras, maka sang pengembala terpaksa harus pulang ke rumahnya bersama domba - domba. Ia harus melewati sebuah jembatan yang sama ketika ia menuju ke hutan. Jembatan itu terbuat dari kayu, yang kelihatannya tak dapat menahan diri untuk jatuh ke sungai. Jembatan itu hampir bobrok dan penduduk desa bilang bila ingin melewatinya harus berjalan satu - satu. Ia telah mengikuti aturan itu ketika tadi ia akan pergi ke hutan. Tapi, berhubung hujan deras dan dia terburu - buru, dia lupa akan aturan yang diberikan tersebut. Alhasil, ia menggiring semua dombanya untuk menyebrangi jembatan bersama - sama.

Salah satu dombanya kemudian terpelincir dan jatuh akibat air hujan, dan karena itulah penyebab runtuhnya jembatan kayu. Sang pengembala dan domba - domba lainnya terjun dan jatuh ke sungai. Terbawa oleh arus yang dingin dan deras. Mengalir menuju sisi hilir. Sang pengembala gelagapan. Ia bukannya memikirkan keselamatannya tapi ia memikirkan bagaimana nasib domba - dombanya yang terseret arus sungai. Ia tak bisa berenang. Beruntungnya, ia tersangkut di sebuah ranting pohon dekat sungai. Ia terus berada di situ sampai hujan berhenti. Kemudian ia pingsan dan terus berada di sungai.

Ia terbangun. Ia melihat cuaca yang cerah tanpa adanya hujan deras lagi. Ia mencoba memfokuskan matanya untuk melihat hal di dunia. Dan ia teringat akan domba - dombanya. Dan setelah ia mencari ke selubuk - selubuk sungai, hasilnya nol. Domba - dombanya sudah mati terseret oleh genangan air di sungai.

Hal ini membuat dia naik temperatur. Ia marah besar. marah kepada air yang telah menghanyutkan domba dombanya. Ia sekarang tak punya apa - apa lagi untuk hidup. 

"Awas saja kau air sialan!! Aku pasti akan menaklukanmu dan menguasaimu!!" Teriaknya.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/f/f7/Flooderosion.jpg/250px-Flooderosion.jpg
Tanpa berpikir panjang dia menemui sang raja di daerahnya, yang merupakan orang terkaya di desanya. Dengan perasaan kesal, sang pengembala menemui sang raja, ia masuk ke istana kerajaan yang begitu megah nan kokoh

"Wahai Raja, aku ingin berkata sesuatu". Kata sang pengembala.
"Silahkan, pengembala" Jawab raja.
"Aku ingin meminta ganti rugi kepadamu!" Kata sang pengembala.
"Ganti rugi untuk apa?" Tanya raja.
"Sungai yang ada di desa ini telah menelan domba - domba ku, tak ada satu pun tersisa. Aku tidak dapat memenuhi kebutuhan tanpa mereka semua". Jawab pengembala.
"Lalu kau mau minta ganti rugi apa? Uang ? atau domba yang baru?". Tanya raja.
"Tidak, yang aku inginkan adalah.. Menguasai dan memiliki sungai yang telah menenggelamkan domba - dombaku". Jawab pengembala

Raja dan para pengawal terbahak - bahak tertawa mendengar pernyataan yang disampaikan oleh sang pengembala. Raja kemudian melanjutkan pembicaraan.

"Silahkan saja, sekarang sungai itu adalah milikmu." Jawab Raja
"Sungguh? Terima kasih raja". Ucap pengembala.

Dengan perasaan senang, pengembala segera meninggalkan istana dan menghampiri sungai. Ia kemudian tersenyum bangga dan berkata

"Haha, sekarang engkau adalah milikku wahai air yang ada di sungai!". Teriak pengembala.

Kemudian ia memulai misinya, dia mengambil gergaji untuk memotong pohon - pohon yang ada di sekitar sungai. Ia juga mengambil semua kekayaan alam yang ada di sekitar sungai, seperti sarang burung, daun mapple, dan lainnya. Semuanya habis tak tersisa. Ia kemudian menjual semuanya dan alhasil dia dapat uang yang sangat banyak.

Semua yang ada di sungai, pohon, ranting, batuan, dan lainnya habis tak tersisa. Lama - kelamaan Kemudian, di tanah yang kosong itu ia mendirikan sebuah rumah yang sangat megah, berlantai 3, seperti hotel berbintang lima. Ia lebih kaya dibandingkan sang raja. Sang raja hanya terseyum dan menyaksikan apa yang terjadi.
Suatu ketika, angin bertiup sangat kencang. Sepertinya akan ada badai. Pengembala takut akan hal itu. Dan perkiraannya benar, terjadi badai disertai hujan deras. Sungai lama - kelamaan meluap dan masuk ke dalam rumah sang pengembala yang mewah. Pengembala naik ke lantai dua, rupanya hujan belum berakhir dan terus masuk ke lantai dua. Pengembala naik ke lantai tiga, dan alhasil rupanya, sebelum genangan air masuk ke lantai tiga, rumah pengembala yang mewah roboh digenangi air.

Pengembala sangat panik dan tak tahu harus minta pertolongan kepada siapa. Ia yang tak bisa berenang jadi susah bergerak di air. Beruntungnya lagi, ia ditolong seorang kakek yang naik perahu dari hulu sungai. Kakek tersebut lalu membawa si pengembala ke rumahnya dan beristirahat ke sana. 
 
Setelah beberapa lama, si pengembala masih trauma akan kejadian itu dan segera menemui sang raja di istana.

"Aku sudah tak tahan lagi raja, ambillah sungai itu.. Aku sudah takut akan hal itu". Keluh Pengembala.
"Aku terima kembali dan marilah kita melestarikan unsur alam yang ada di sana, yang perlu kau ketahui adalah jangan jadikan air sebagai suatu hal yang remeh, dan jangan pula jadikan air sebagai suatu hal yang kuat sehingga kau ingin menaklukannya, mengertilah akan alam, mengertilah akan air." Jelas raja.
"Aku mengerti, maafkan aku wahai air." Jawab pengembala.

Terima Kasih Sudah membacanya,,

Baca Selengkapnya......

Wednesday, December 19, 2012

IZINKAN SAYA BERCERITA - 6. THE FABULOUS MEMORY


CERPEN KE : VI
JUDUL : THE FABULOUS MEMORY (KENANGAN TERBAIK) 

By : Rony Wiranto

*Sambil Baca Sambil Dengar


Westlife - Season in the Sun
Hari ini kebetulan cuaca bersahabat, Cerah dengan sinar matahari keemasan. Tak tanggung-tanggungnya Matsumoto dengan sigap cepat-cepat pergi ke sekolah di hari senin. Dia tak mau ketinggalan pelajaran Matematika kesukaannya di jam pertama, dia sengaja berjalan kaki agar bisa menikmati segarnya kerindangan pohon di jalan yang dilaluinya. Jarak sekolah dari rumahnya cukup jauh juga, karena itulah dia rela bangun subuh untuk pergi ke sekolah. Jalan demi jalan ia lewati, pohon demi pohon ia lalui. “Hmm segarnya” pikirnya. Sesampainya di sekolah, dengan cepat ia berlari menuju kelasnya dan segera membuka pintu kelasnya. Dengan gembira, ia mengatakan.. 

  “Ohayou!”. Sapanya.

Tapi semua teman sekelasnya tak menghiraukannya, kelihatannya mereka semua sedang membicarakan sesuatu hal, sesuatu hal yang penting kelihatannya. Matsumoto segera mendekat ke teman – teman dekatnya dan ikut berbincang.

“Eh, Ada apa sih?”. Tanya Matsumoto.
Semuanya hening tanpa menjawab.
“Eh, ada berita apaan sih??”. Tanya Matsumoto. Kali ini dia menggunakan nada yang  
 “Kamu belum tahu? Seluruh murid di kelas sedang membicarakan hal ini.” Jawab Ai.
 “Hal apa?”. Tanya Matsumoto. Segera disambung oleh Aru.
“Sebenarnya, guru kesukaanmu, Bu Ran, akan segera berhenti mengajar di sekolah ini.” Jawab Aru.
“Haha.. Kabar itu juga aku sudah tahu, biar gimanapun, Bu Ran kan 2 bulan yang akan datang akan segera menikah, jadi wajar saja kalau...” Segera dipotong oleh Ai.

“Yang menjadi masalahnya sekarang bukan itu.” Jawab Ai.
“Tapi, guru yang akan menggantikan Bu Ran itu..” Sambung Aka.
“Eh?”. Tanya Matsumoto dengan ekspresi bingung.
          “Guru yang akan menggantikan Bu Ran itu adalah guru yang dinobatkan sebagai guru terkejam di kota ini, Bu Minase!”. Jawab Aka dengan menyambung kalimatnya yang terputus tadi.
    “Ah, kalian percaya cerita begituan? Itu kan hanya kabar semata, jadi..”. Kata Matsumoto, dan segera dipotong oleh Ai.
      “Itu bukan cerita bualan, bahkan sekolah Sakura yang international itu bisa-bisanya menolak Bu Minase itu. Beberapa sekolah di kota ini, juga banyak yang menolaknya, bahkan secara langsung!”. Jawab Ai dengan tegas.
       “Eh, Lalu kenapa sekolah ini menerimanya begitu saja?”. Tanya Matsumoto.
       “Entahlah, dengar kabar yang beredar sih, ada yang bilang kalau di Sekolah ini ada kerabat keluarganya yang bekerja disini, ada juga yang bilang bahwa dia rela menyuap kepala sekolah agar dapat diterima dan bekerja disini.” Jawab Ai. Lalu Aka segera menyambung.
    “Dan hebatnya, guru itu menjadi Wali Kelas kita menggantikan Bu Ran, ohh seandainya Bu Ran tidak menikah.. -,,,,,-”. Keluh Aka.
     “Hei, kalau begitu bagaimana...” Belum sempat Aru berbicara, suasana keramaian di kelas langsung buyar begitu mendengar kenok pintu bergerak dan muncul seseorang.
      “Itu dia, datang.” Bisik Ai kepada Matsumoto.

Matsumoto hanya diam dan terus memperhatikan seseorang tersebut yang ternyata adalah Bu Minase. Matsumoto kemudian duduk ke bangkunya. Ia hanya bingung memperhatikan Bu Minase. Orang nya masih muda, sekitar umur 23 tahun. Wajahnya cantik, tertutup oleh masker yang dipakainya, tampaknya juga Anggun. Matsumoto juga masih bingung kenapa orang seperti itu bisa dinobatkan sebagai guru terkejam. Lalu dengan tegas Bu Minase mengucapkan perkenalan.

          “Hajimemashite, Nama saya Minase! Saya bertugas untuk menggantikan Guru kalian yang telah berhenti beberapa hari ini. Jadi, Salam kenal!” Kata Bu Minase dengan tegas.
          Suaranya yang tegas itu membuat semua murid tidak berani menjawab pertanyaannya. Bu Minase lalu melanjutkan percakapannya.
          “Baiklah, kita mulai pelajarannya!”. Kata Bu Minase sambil menghadap ke arah Papan Tulis.
          “Apa-apaan dia, langsung memulai pelajaran seenaknya!” Bisik Aka kepada yang lain.
        “Iya, seharusnya dia mengajak semua murid untuk beradaptasi dulu sebelum memulai pelajaran!” Sambung Ai.
          “He..Hentikan, nanti suara kalian..” Himbau Aru dan terpotong oleh Aka.
         “Lagipula guru baru saja sombong, dia seperti monster yang menutup mukanya dengan masker!”. Kata Aka.
          Tiba – tiba, Bu Minase memarahi Aka dan yang lainnya dengan mengatakan “Jangan berbicara saat jam Pelajaran!”. Rupanya suara Aka terdengar oleh Bu Minase dan mereka pun segera melanjutkan pembelajaran.
          “TRINGG..” jam istirahat pun berbunyi, akhirnya semuanya lega Bu Minase bisa keluar dari kelas. Suasana kelas kembali ramai dengan pembicaraan topik yang sama seperti pagi tadi, yaitu tentang Bu Minase. Karena merasa lapar, dan pagi tadi belum sarapan, akhirnya Matsumoto mengajak Aru untuk pergi ke kantin sekolah.
          “Aru, aku lapar.. Kita beli sesuatu yuk?” Ajakku kepada Aru.
          “Ah, iya.. kenapa tidak mengajak Ai dan Aka?” Tanya Aru.
          “Haha! -_-” Tidak usah, kelihatannya mereka sangat bersemangat bercerita ke teman-teman yang lain”. Jawab Matsumoto sambil melirik ke Ai dan Aka.
          Akhirnya Matsumoto dan Aru pergi ke kantin untuk membeli beberapa makanan. Matsumoto sempat melihat Bu Minase di kantin, sambil makan sendirian tanpa seorang teman guru. Matsumoto hanya melihatnya saja.
          “Matsu? Ayo, sebentar lagi bel masuk lho..” Ajak Aru.
          “Ah, iya..” Jawab Matsumoto.
          Mereka lalu masuk ke kelas, begitu juga dengan Bu Minase yang sudah selesai makan itu, dia segera memulai pelajarannya. Waktu demi waktu, kelihatannya semakin tegang saja pembelajaran hari ini. Mereka pun pulang.
          “Ah, Pelajaran hari ini membosankan!” Keluh Aka.
          “Iya, Bosan banget!!”. Sambung Ai.
          “Tidak juga, pelajarannya bagus dan bisa dimengerti.” Sambung Matsumoto.
          “Ah, kamu orangnya nggak asik :P .” Keluh Aka.
          “Haha! -_- ” Sambung Matsumoto
          “Eh, sudah ya.. Aku dan Aru lewat sini.. Sampai jumpa besok!”. Kata Aka mengucapkan selamat tinggal.
          “Iya.” Jawab Matsumoto dan Ai.
          Matsumoto yang rumahnya searah dengan Ai akhirnya pulang bersama. Matsumoto hanya bisa mendengarkan keluhan Ai tentang Bu Minase, sambil termenung tanpa sebab.
          “Eh, ada penjual es krim, kamu mau es krim?” Tanya Ai.
          “Boleh, belikan aku satu ya.” Jawab Matsumoto
          “Baiklah, kalau begitu kau tunggu di sini, aku akan ke sana.” Jelas Ai.
          Matsumoto hanya mengangguk, sambil melihat pemandangan indah yang ada di sekitarnya, di sampingnya terlihat gunung dan pepohonan, dan dibawahnya ada tempat untuk bisa melihat danau indah. Matsumoto iseng melihat ke bawah tempat untuk melihat danau. Dan ternyata di sana ada seseorang. Begitu dilihat dekat, ternyata itu Bu Minase. Matsumoto segera turun dan mendekati Bu Minase. Menyadari kedatangan Matsumoto, Bu Minase hanya diam memperhatikan danau yang begitu indah. Matsumoto lalu menegur Bu Minase.
          “Ah, Sensei..”. Kata Matsumoto
          Bu Minase hanya diam saja. Dengan muka setengah terlihat itu, dia menggunakan masker menutupi mulut dan hidungnya.
          “Ano, Apa yang Ibu lakukan di sini?” Tanya Matsumoto dengan ramah, tapi Bu Minase tetap tak menjawab pertanyaannya dan sedikit demi sedikit menjauh dari Matsumoto. Matsumoto pun memakluminya dan tersenyum.
          “Hmm, aku tahu, pasti keindahan danau inilah yang membuat Ibu berniat datang ke sini.” Jelas Matsumoto. Dan akhirnya Bu Minase menjawab.
          “Ini adalah tempat masa kecilku dulu”. Jawabnya.
          Matsumoto sedikit heran, kemudian melanjutkan pembicaraan.
          “Ah, begitu ya.. Eh, kenapa Sensei selalu memakai masker saat jam pelajaran, juga di mana – mana ?” Tanya Matsumoto. Bu Minase tak menjawab pertanyaannya lagi. Lalu Matsumoto mendekat kepada Bu Minase.
          “Ibu?”. Tanyaku heran.
          Mengetahui Matsumoto mendekatinya, Bu Minase mendorong jatuh Matsumoto dan berkata “Jangan Mendekat!” Kemudian berlari ke atas puncak. Melihat kejadian itu, Ai kemudian segera turun ke bawah dan menolong Matsumoto.
          “Ah, Matsu! Kau tidak apa-apa?”. Tanya Ai sambil membantu Matsumoto berdiri.
          “Ah, iya.” Jawabnya. Ia hanya termenung diam.
          “Kenapa sih orang itu?! Guru macam apa itu mendorong jatuh muridnya sendiri!! Kau benar – benar tak apa – apa ?”. Tanya Ai
          Matsumoto hanya diam melihat Bu Minase. Dia termenung melihat ekspresi mata Bu Minase saat ia dia didorong jatuh oleh Bu Minase, matanya seakan mau menangis. ‘Apa maksudnya?’ pikir Matsumoto.
          “Hei, kenapa kau? Ini es krim mu.. Ayo pulang!” Ajak Ai sambil memberikan es krim yang ada di tangannya itu kepada Matsumoto.
          “Ah, iya..” Jawab Matsumoto.
          Mereka pun segera melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.
          Hari demi Hari Bu Minase mengajar, sepertinya semua murid sudah agak bisa beradaptasi dengan keadaan di kelas. Sejak saat itu Matsumoto sering sekali melihat Bu Minase pergi ke danau. Tapi, Matsumoto tidak berani menegur lagi, dia tidak mau mengganggu ketenangan Bu Minase di danau itu. Sampai suatu hari terjadi suatu kejadian di kelas, salah satu teman sekelas Matsumoto, yang bernama Ryu kehilangan suatu barang berharga di sana.
         “Huaah.. bagaimana ini, benda berharga ku hilang... :”( ”. Keluh Ryu.
          Saat ini masalah itu menjadi bahan pembicaraan seluruh murid di kelasnya. Ryu menceritakan bahwa saat benda berharga nya hilang, yaitu sebuah jam milik perusahaan ayahnya, dia hanya bertiga bersama temannya, Hine dan juga Bu Minase di kelas. Waktu itu dia belum pulang karena masih harus mengerjakan salah satu essay nya. Saat Bu Minase keluar dari kelas, Ryu sadar bahwa jam nya hilang. Hine juga tak tahu jam itu. Mendengar cerita itu, Matsumoto pikir hal itu sangat menyudutkan posisi Bu Minase. Sepertinya hal itu sampai menjadi pembicaraan seluruh sekolah, Bu Minase juga sepertinya sudah mendengar kabar yang tak enak itu, dengan menggunakan masker iya masuk kelas dengan keadaan yang biasa – biasa saja.
          Akhirnya Matsumoto menyelidiki permasalahan itu, Petugas kebersihan di sekolah itu bilang Bu Minase sering masuk ke ruang guru diam – diam, entah apa tujuannya. Ini semakin meragukan Matsumoto.
          Esoknya, hal ini masih jadi pembicaraan hangat, terutama di kelas Matsumoto.
          “Dia Pelakunya! Pasti Dia!” Teriak Ai.
          Suara Ai membuat Matsumoto ingin ikut ke pembicaraan itu.
          “Benar, pikir saja pakai Logika, Hine tak mungkin pencurinya karena dia itu orang kaya, pasti si Minase itu pelakunya!” Sambung Aka.
          “Te..Teman – teman.. ” Aru berusaha menghentikan pembicaraan.
          Matsumoto hanya diam mendengarkan. Dia pikir apakah mungkin Bu Minase akan melakukan hal semacam itu.
          “Iya! Kudengar dia sebatang kara, dan dia sangat membutuhkan uang!” Jawab Ai.
          Pembicaraan semakin panas, akhirnya Matsumoto berniat menemui Bu Minase dan menanyakan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Matsumoto tahu bahwa Bu Minase setiap pulang sekolah selalu pergi ke danau. Dan ternyata saat itu, Bu Minase memang terlihat menangis. Melihat kejadian itu Matsumoto turun pelan – pelan, tapi akhirnya Bu Minase menyadari keberadaan Matsumoto dan segera menyeka air matanya. Matsumoto lalu mendekati Bu Minase.
          “Kau tadi melihatnya ya?” Tanya Bu Minase.
          “Ah, melihat apa?” Tanya Matsumoto kebingungan.
          “Melihatku menangis?” Jawab Bu Minase.
          Matsumoto hanya terdiam, baru kali ini Bu Minase mudah sekali diajak berbicara.
          “Ano.. Sebenarnya.. Ada yang mau aku tanyakan..” Kata Matsumoto terpatah – patah saat bicara.
          Lalu, dengan masker yang menutupi hidung dan mulutnya, dia menatap Matsumoto.
          “Sensei pasti sudah mendengar berita ini.. dan yang ingin kutanyakan..” Lagi – lagi Matsumoto terpatah – patah.
          Pakai hatimu..” Potong Bu Minase.
          “eh?” Tanya Matsumoto
          “Jika ada yang membingungkan di dalam diri, dan memilih manakah jalan yang harus diikuti, maka yang kupilih adalah kata hati, sebab kenyataannya Perasaan akan lebih mudah menyesuaikan keadaan dengan masalah yang dihadapi.” Kata Bu Minase.
          Mendengar kata – kata Bu Minase tadi membuat hati Matsumoto tertegun, karena kata hatinya yakin bahwa Bu Minase bukanlah pencuri.
          “Kalau ibu meninggal nanti, beri tahu bahwa ibu mau dikuburkan di sini ya..” Kata Bu Minase dengan sedikit bercanda.
          “Se.. Sensei bicara apa?” Tanyaku sedikit kaget.
          “Kalau masalah jam punya temanmu itu, jam itu sekarang ada di Petugas kebersihan sekolah kita, dia menemukan jam itu terjatuh saat Ryu menaruhnya di tasnya yang berlubang. Karena takut hilang dia menyimpan nya.” Jelas Bu Minase.
          “Ke.. Kenapa ibu tidak bilang pada Ryu dan yang lainnya?! Ibu hampir dicurigai pelakunya Tau! Lagipula kenapa petugas itu tidak memberikannya kepada kepala sekolah biar masalahnya terselesaikan?!” Tanyaku dengan nada kesal.
          dia tidak mendengar kejadian itu karena saat itu dia sedang pulang ke desanya di Aomori dan baru kembali hari ini. Lagipula aku tidak bisa berbicara terlalu banyak.” Jawab Bu Minase dengan nada sedih.
          ‘apa maksudnya?’ pikir Matsumoto, walaupun sudah tahu kebenaran kasus yang terjadi tapi masih ada yang janggal tentang Bu Minase. Tanpa pamit Bu Minase pergi dan menuju ke atas, ‘pundaknya bergetar, itu artinya dia sedih’ pikir Matsumoto.
          Esoknya Matsumoto menceritakan tentang kasus pencurian yang terjadi di kelasnya, akhirnya semuanya kembali tenang, Ryu juga merasa lega karena Jamnya sudah ditemukan kembali.
          “Akhirnya tidak ada pelakunya di kasus ini” Ucap Aru.
          “Iya, tapi aku masih ragu dengan nenek sihir, si Minase itu. Sikapnya masih dingin.” Gerutu Ai.
          “Bener Ai, tapi kamu hebat Matsu, darimana kamu tahu tentang kebenaran kasus ini?” Tanya Aka.
          “Ah, aku hanya dapat ilham di waktu malam haha..” Kata Matsumoto dengan nada bercanda.
          “Memangnya kami percaya jawaban seperti itu?! -_- ” Keluh Ai bercanda.
          Akhirnya mereka semua dapat kembali tenang dan mengobrol seperti biasanya.
          “Eh, tapi akhir – akhir ini, Bu Minase nggak kelihatan..” Keluh Aru.
          “Biarkan saja dia, aku dengar sih katanya dia minta cuti karena sakit.” Jawab Aka.
          “Makanya, jadi orang jangan dingin kayak gitu!” Ai memperingatkan.
          “Eh, aku lupa mengumpulkan essay ku kepada Bu Minase, sebentar ya semua.. aku pergi ke ruang guru sebentar.” Jelas Matsumoto sambil bergegas mengambil Essay miliknya.
          “Tak usah deh, lagipula liburan musim semi kan 2 hari lagi?” Rayu Aka.
          “Kalau begitu, aku nggak bakal dapet nilai dong :p sudah ya semua..” Jawab Matsumoto.
          Matsumoto segera bergegas menaruh essay nya di meja Bu Minase, tapi dia terdengar pembicaraan beberapa guru di kantor. Matsumoto jadi sedikit tertarik mendengarnya. Sepertinya tentang Bu Minase.
          Setelah mendengar percakapan tersebut, Matsumoto tertegun. Seolah – olah jawaban pertanyaan yang janggal tentang Bu Minase di hatinya terjawab sudah. Dia mau menangis, lalu tiba – tiba lari keluar dari ruang guru dan menanyakan rumah Bu Minase kepada petugas kebersihan sekolah. Dia bergegas menuju rumah Bu Minase. Sementara kepala sekolah datang mengunjungi kelas Matsumoto ingin membicarakan hal yang sebenarnya terjadi, yang sudah terdengar oleh Matsumoto lebih dulu saat di ruang guru. Kepala sekolah lalu mulai menjelaskan, sementara Matsumoto sedang dalam perjalanan menuju rumah Bu Minase dengan sedikit menangis.
          “Begini anak – anak, bapak ingin memberitahukan sesuatu tentang Bu Minase...” Jelas kepala sekolah.
          “Matsu kemana ya? Kok ngasih Essay lama banget?’’ Tanya Ai.
          “Dia kan memang sering begitu, lama nya minta ampun, apalagi ke toilet!” Jelas Aka.
          Sementara Matsumoto berlari menuju rumah Bu Minase.
          “Bahwa pagi tadi, Bu Minase meninggal dunia..”. Sambung kepala sekolah.
          Semua murid terkejut dan ingin tahu apa alasannya. Pak kepala sekolah lalu menceritakan semua tentang Bu Minase. Ternyata, yang benar – benar di dengar Matsumoto dan teman – teman yang lainnya membuat hati tertegun.
          “Bu Minase punya penyakit TBC paru – paru, itulah alasannya kenapa Bu Minase banyak tidak diterima sebagai guru di sekolah – sekolah di kota ini, sebab mereka semua takut kalau penyakit itu bisa menular kepada orang lain, saat melamar di sekolah ini, awalnya saya tidak mau menerima nya. Tapi, dia menangis sambil berkata ‘Izinkan aku bekerja di sini, walaupun hidup saya sudah beberapa waktu lagi, tapi saya sudah berjanji kepada ayah saya untuk mengabdi dan menjalankan tugas untuk yang terakhir kalinya’. Karena saya tak tega, akhirnya kami mengizinkan dia menjadi guru di sekolah ini, dia selalu memakai masker agar pada saat mengajar murid – murid tak akan tertular penyakitnya tersebut. Dan dia yang sebenarnya lembut, merubah dirinya menjadi galak dan katanya dinobatkan sebagai guru tergalak karena dia ingin agar murid – murid tidak mendekatinya, dia tak mau murid – murid menderita karenanya.” Jelas kepala sekolah dengan raut muka sedih.
          Mendengar semua itu baik Ai, Aka, Aru, dan murid – murid yang lainnya menjadi menangis dan sedih, mereka segera menghimbau pak kepala sekolah agar segera menuju ke rumah Bu Minase.
          Sementara Matsumoto yang sudah mendengar cerita itu, akhirnya sampai di rumah Bu Minase. Kemudian begitu melihat Bu Minase yang sudah berbaring tenang, dia berteriak sedih
          ‘’Senseiii!!’” teriaknya.
          Sementara itu, beberapa menit, Ai dan yang lain pun tiba di rumah Bu Minase, sambil menangis Ai memeluk Matsumoto yang sudah menangis lebih dulu. Akhirnya Matsumoto teringat akan ucapan Bu Minase “Kalau ibu meninggal nanti, beri tahu bahwa ibu mau dikuburkan di sini ya..”. Dia segera memberitahu hal itu kepada yang lain. Teka – Teki terjawab sudah, keraguan yang ada di hati Matsumoto akhirnya dapat terjawab walau harus dilanda dengan kebencian, kepedihan, dan kesedihan.
          Sudah 3 Bulan berlalu, walaupun liburan musim semi dilandai kesedihan, tapi itu tak membuat murid patah semangat untuk melanjutkan sekolahnya. Matsumoto, Ai, Aka, dan Aru pun seperti biasanya, pulang sekolah sambil membicarakan banyak hal.
          “Akhirnya kembali bersekolah ya..” Kata Aru.
          “Yah, guru nya pun kelihatannya baik dan ramah, jadi semangat belajar nih hehe” Jawab Ai.
          “Lagipula gurunya cantik haha :$ ” Sambung Aka.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUnqjSruMKHeVUE2Me120e3bbIb7s9vJRZFRJHdkO4W2vmesbZYhIEuhDMZ3di5HEHJtMsMc1LJVpoflLjOCvYf3DbMKu_94pPHv7aPd8YJQNz8cTzF-3lBqjwW8tbxm80gVC6OMEayHtO/s400/243924a9218b1f2bbf.gif          “Hei, kau lihat dia dari segi mana nya? -,- ” Keluh Ai sedikit bercanda.
          “Sejak kejadian itu..” Matsumoto tak melanjutkan kata – kata nya.
          Semuanya menatap wajah Matsumoto dengan sedikit senyuman kedamaian.
          “Aku tak akan melupakan Bu Minase!” Jawab Matsumoto dengan suara lantang.
          “Kami juga,,” Jawab yang lainnya serentak.
          “Eh, iya.. hari ini aku ada urusan, kalian pulang saja duluan. Aku pergi dulu ya, dah!” Teriak Matsumoto dengan wajah senyuman.
          Matsumoto segera bergegas berlari.
          “Mau kemana dia?” Tanya Aru.
          “Entahlah, jangan – jangan dia lupa mengumpulkan Essay lagi -_- ” Jawab Aka.
          Ternyata Matsumoto pergi ke tempat Bu Minase dimakamkan, dia memberi bunga sebagai tanda sayang nya.
          Tiba – tiba, saat akan kembali ke atas puncak, tanpa sadar Matsumoto menginjak bagian tanah yang licin, sehingga membuat dia terperosot jatuh. Tanpa sadar, sebuah kayu tiba – tiba jatuh dan bergegas Matsumoto pegang agar tak jatuh ke danau. Entah darimana kayu tersebut jatuh. Akhirnya dia bisa bergegas berdiri.
          “fiuhh,, Hampir saja..” Keluhnya.
          “Terima Kasih Bu Minase >:-) ”. Teriaknya.

Terima Kasih Sudah membaca :)

Baca Selengkapnya......